Kuli Nyapu BSD
Wenny Lovenza
Anastacia
11140110128
Hari itu,
matahari masih di timur. Udara masih sejuk yang disertai angin sepoi-sepoi, suara
kicauan burung masih terdengar jelas. Ya, pagi itu adalah pagi yang indah dan
cerah di kawasan ruko sektor 1.1 di BSD (Bumi Serpong Damai). Jam digital
memperlihatkan angka 06.46. Sudah cukup terang untuk memulai aktivitas
masing-masing. Sejumlah warga dengan pakaian yang seragam, yaitu polo shirt berwarna oranye disertai
celana training berwarna putih baru
saja menyelesaikan rutinitas mereka: Taichi. Berbagai macam kendaraan baik umum
maupun pribadi sudah berlalu lalang di jalan besar dekat ruko itu.
Hiruk pikuk
kegiatan pagi di kawasan ruko sektor 1.1 di BSD ini selalu ditemani dengan
suara seretan puluhan lidi yang diikat menjadi satu di bawah sebuah gagang yang
terbuat dari kayu. Sapu lidi ini menyeret berbagai macam benda-benda yang
tergeletak tanpa dosa di jalan bata tersebut. “Sreett...sreett...srett...”
Suara itu terus terdengar berkali-kali. Kadang-kadang berhenti sejenak, tak
berapa lama kemudian mulai terdengar kembali. Gagang sapu yang terbuat dari
kayu itu diayunkan dengan ahlinya oleh sepasang tangan dengan jari-jarinya yang
kurus dan sudah berkeriput itu.
Bibirnya
memasang seulas senyum yang tulus ketika saya mengajaknya untuk mengobrol
sebentar. Sarmi, begitu dia biasa dipanggil. Tubuhnya mungil dan punggungnya
sudah agak bungkuk. Ibu ini begitu kurus dengan kulit sawo matang. Sembari
beristirahat sejenak dari pekerjaannya sebagai kuli nyapu, kami
berbincang-bincang.
“Saya mah udah
lama kerja jadi kuli nyapu begini. Dari laki (suami) saya nggak ada, saya udah
jadi kuli nyapu. Kalau udah berapa taunnya sih, ya udah lama,” ujar Sarmi. Bisa
dibilang, dia sudah sangat berpengalaman menjadi seorang kuli nyapu di kawasan
ini. Setiap hari dia menyapu dari depan warnet “Vertigo” sampai ke selokan yang
terletak di seberang Pasar Modern. Ternyata menjadi kuli nyapu begini dibayar
per minggu. Dan per minggunya Sarmi dibayar 60 – 70.. rupiah. Dengan mata
terbelalak, saya berkali-kali memastikan tentang upah mingguannya itu. Sarmi,
masih dengan senyum menghiasi wajahnya juga berkali-kali mengiyakan pertanyaan
saya.
Sarmi, wanita
beranak lima yang berusia sekitar 70 tahun ini ternyata sudah sangat lama
tinggal di BSD. Dia tinggal di daerah Lekong sejak orangtuanya masih ada sampai
sekarang. Dialah salah satu saksi mata perkembangan BSD yang begitu pesat. Yang
dulunya di BSD hanya terdiri dari sawah, rawa-rawa, dan hutan karet, menjadi
sebuah kota kecil yang berfasilitas lengkap dan banyak penghuninya. Almarhum
suaminya sudah sangat lama meninggal. Saat ini, Sarmi tinggal bersama anak-anak
dan cucu-cucunya yang masih kecil-kecil. Biasanya, dia membersihkan
sampah-sampah di kawasan ruko sektor 1.1 ini sampai Lohor (nama waktu
berdasarkan waktu ibadah, yaitu pukul 12 siang), lalu dia akan pergi ke masjid
untuk salat dan ngobrol dengan kenalan-kenalannya. “Saya mah kalau di rumah
nggak betah,” katanya.
Karena dia sudah
tinggal di BSD sejak kecil sampai sekarang, dia mengalami berbagai macam
pengalaman yang sekarang hanya tinggal kenangan dan hanya sedikit orang yang
tahu. Sarmi sempat bercerita bagaimana dulu daerah sektor 1.2 adalah kuburan
dan bisa dibilang keramat, karena warganya dulu sekali sering melakukan
ritual-ritual di sana. Hanya sedikit orang yang tahu tentang hal itu sekarang.
Meskipun banyak berita-berita miring tanpa sumber yang jelas mengatakan bahwa
daerah di sana memang sering terjadi “penampakan”, tetapi masih banyak warga
yang tinggal di sana.
Selain
menyapu-nyapu sampah dan daun-daun kering di sektor 1.1, Sarmi juga
mengumpulkan kardus-kardus dan botol-botol plastik untuk kemudian dijual dan
menambah penghasilan. Meskipun anak-anaknya sudah berkeluarga dan memiliki
kehidupan masing-masing, Sarmi bersikeras untuk bekerja untuk membantu
menunjang perekonomian keluarganya. Warga dekitar juga sudah sangat familiar dengan sosok Sarmi yang dengan giatnya
selalu mengerjakan pekerjaannya setiap pagi. Selama kami berbincang-bincang pun
ada dua-tiga warga yang lewat dan menyapa Sarmi. Ada juga seorang ibu-ibu
berambut cepak memakai kaos polo putih yang ditutupi jaket yang memberikan
sebuah roti untuk Sarmi lalu melanjutkan perjalanannya lagi.
Sebagaimana
pekerjaan-pekerjaan besar yang membutuhkan keahlian memiliki tantangan dan
resikonya masing-masing, menjadi kuli nyapu juga memiliki kesulitannya sendiri.
Enggan menceritakan kesulitan-kesulitan yang pernah dialaminya, Sarmi menyeka
matanya yang agak berair itu dengan bajunya. Dia hanya mengatakan, dulu andai
suaminya masih ada di dunia, mungkin dia tidak perlu menjadi kuli nyapu.
Mungkin dia bisa membuka toko sendiri bersama suaminya.
Namun, senyumnya
kembali merekah dan diikuti tawa kecil ketika ditanyakan tentang bagian yang
menyenangkan dari pekerjaannya. Dia mengaku, berkat pekerjaannya ini dia
menjadi mendapat banyak pengalaman, dan banyak bertemu orang-orang baru.
Katanya, sering ada warga yang memberikan makanan atau sembako untuk Sarmi. Tidak
tahu bagaimana membalas kebaikan warga itu, Sarmi hanya bisa berterima kasih
dan mendoakan.
Pekerjaan sebagai kuli nyapu ini bisa
dia pertahankan sampai puluhan tahun, karena dia memikirkan anak dan cucunya.
Demi kehidupan anak dan cucunya yang lebih baik, Sarmi bersedia untuk terus
bekerja walaupun upah yang diterima tidak sebanding dengan usaha yang telah
dikeluarkannya. Untungnya, anak-anaknya sudah bekerja, sehingga beban ekonomi
jadi ditanggung bersama dan hanya tinggal menghidupi cucunya, dan berusaha
memberikan kehidupan yang lebih baik bagi cucu-cucunya. Setelah kami bersalaman
dan berpisah, suara seretan lidi-lidi itu kembali terdengar.
“Sreett...sreett...srett...”
Sarmi tengah menyapu sampah-sampah di kawasan ruko sektor 1.1 BSD |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar