Rabu, 01 Mei 2013

Feature Profil



Kuli Nyapu BSD
Wenny Lovenza Anastacia
11140110128

Hari itu, matahari masih di timur. Udara masih sejuk yang disertai angin sepoi-sepoi, suara kicauan burung masih terdengar jelas. Ya, pagi itu adalah pagi yang indah dan cerah di kawasan ruko sektor 1.1 di BSD (Bumi Serpong Damai). Jam digital memperlihatkan angka 06.46. Sudah cukup terang untuk memulai aktivitas masing-masing. Sejumlah warga dengan pakaian yang seragam, yaitu polo shirt berwarna oranye disertai celana training berwarna putih baru saja menyelesaikan rutinitas mereka: Taichi. Berbagai macam kendaraan baik umum maupun pribadi sudah berlalu lalang di jalan besar dekat ruko itu.
Hiruk pikuk kegiatan pagi di kawasan ruko sektor 1.1 di BSD ini selalu ditemani dengan suara seretan puluhan lidi yang diikat menjadi satu di bawah sebuah gagang yang terbuat dari kayu. Sapu lidi ini menyeret berbagai macam benda-benda yang tergeletak tanpa dosa di jalan bata tersebut. “Sreett...sreett...srett...” Suara itu terus terdengar berkali-kali. Kadang-kadang berhenti sejenak, tak berapa lama kemudian mulai terdengar kembali. Gagang sapu yang terbuat dari kayu itu diayunkan dengan ahlinya oleh sepasang tangan dengan jari-jarinya yang kurus dan sudah berkeriput itu.
Bibirnya memasang seulas senyum yang tulus ketika saya mengajaknya untuk mengobrol sebentar. Sarmi, begitu dia biasa dipanggil. Tubuhnya mungil dan punggungnya sudah agak bungkuk. Ibu ini begitu kurus dengan kulit sawo matang. Sembari beristirahat sejenak dari pekerjaannya sebagai kuli nyapu, kami berbincang-bincang.
“Saya mah udah lama kerja jadi kuli nyapu begini. Dari laki (suami) saya nggak ada, saya udah jadi kuli nyapu. Kalau udah berapa taunnya sih, ya udah lama,” ujar Sarmi. Bisa dibilang, dia sudah sangat berpengalaman menjadi seorang kuli nyapu di kawasan ini. Setiap hari dia menyapu dari depan warnet “Vertigo” sampai ke selokan yang terletak di seberang Pasar Modern. Ternyata menjadi kuli nyapu begini dibayar per minggu. Dan per minggunya Sarmi dibayar 60 – 70.. rupiah. Dengan mata terbelalak, saya berkali-kali memastikan tentang upah mingguannya itu. Sarmi, masih dengan senyum menghiasi wajahnya juga berkali-kali mengiyakan pertanyaan saya.
Sarmi, wanita beranak lima yang berusia sekitar 70 tahun ini ternyata sudah sangat lama tinggal di BSD. Dia tinggal di daerah Lekong sejak orangtuanya masih ada sampai sekarang. Dialah salah satu saksi mata perkembangan BSD yang begitu pesat. Yang dulunya di BSD hanya terdiri dari sawah, rawa-rawa, dan hutan karet, menjadi sebuah kota kecil yang berfasilitas lengkap dan banyak penghuninya. Almarhum suaminya sudah sangat lama meninggal. Saat ini, Sarmi tinggal bersama anak-anak dan cucu-cucunya yang masih kecil-kecil. Biasanya, dia membersihkan sampah-sampah di kawasan ruko sektor 1.1 ini sampai Lohor (nama waktu berdasarkan waktu ibadah, yaitu pukul 12 siang), lalu dia akan pergi ke masjid untuk salat dan ngobrol dengan kenalan-kenalannya. “Saya mah kalau di rumah nggak betah,” katanya.
Karena dia sudah tinggal di BSD sejak kecil sampai sekarang, dia mengalami berbagai macam pengalaman yang sekarang hanya tinggal kenangan dan hanya sedikit orang yang tahu. Sarmi sempat bercerita bagaimana dulu daerah sektor 1.2 adalah kuburan dan bisa dibilang keramat, karena warganya dulu sekali sering melakukan ritual-ritual di sana. Hanya sedikit orang yang tahu tentang hal itu sekarang. Meskipun banyak berita-berita miring tanpa sumber yang jelas mengatakan bahwa daerah di sana memang sering terjadi “penampakan”, tetapi masih banyak warga yang tinggal di sana.
Selain menyapu-nyapu sampah dan daun-daun kering di sektor 1.1, Sarmi juga mengumpulkan kardus-kardus dan botol-botol plastik untuk kemudian dijual dan menambah penghasilan. Meskipun anak-anaknya sudah berkeluarga dan memiliki kehidupan masing-masing, Sarmi bersikeras untuk bekerja untuk membantu menunjang perekonomian keluarganya. Warga dekitar juga sudah sangat familiar dengan sosok Sarmi yang dengan giatnya selalu mengerjakan pekerjaannya setiap pagi. Selama kami berbincang-bincang pun ada dua-tiga warga yang lewat dan menyapa Sarmi. Ada juga seorang ibu-ibu berambut cepak memakai kaos polo putih yang ditutupi jaket yang memberikan sebuah roti untuk Sarmi lalu melanjutkan perjalanannya lagi.
Sebagaimana pekerjaan-pekerjaan besar yang membutuhkan keahlian memiliki tantangan dan resikonya masing-masing, menjadi kuli nyapu juga memiliki kesulitannya sendiri. Enggan menceritakan kesulitan-kesulitan yang pernah dialaminya, Sarmi menyeka matanya yang agak berair itu dengan bajunya. Dia hanya mengatakan, dulu andai suaminya masih ada di dunia, mungkin dia tidak perlu menjadi kuli nyapu. Mungkin dia bisa membuka toko sendiri bersama suaminya.
Namun, senyumnya kembali merekah dan diikuti tawa kecil ketika ditanyakan tentang bagian yang menyenangkan dari pekerjaannya. Dia mengaku, berkat pekerjaannya ini dia menjadi mendapat banyak pengalaman, dan banyak bertemu orang-orang baru. Katanya, sering ada warga yang memberikan makanan atau sembako untuk Sarmi. Tidak tahu bagaimana membalas kebaikan warga itu, Sarmi hanya bisa berterima kasih dan mendoakan.
Pekerjaan sebagai kuli nyapu ini bisa dia pertahankan sampai puluhan tahun, karena dia memikirkan anak dan cucunya. Demi kehidupan anak dan cucunya yang lebih baik, Sarmi bersedia untuk terus bekerja walaupun upah yang diterima tidak sebanding dengan usaha yang telah dikeluarkannya. Untungnya, anak-anaknya sudah bekerja, sehingga beban ekonomi jadi ditanggung bersama dan hanya tinggal menghidupi cucunya, dan berusaha memberikan kehidupan yang lebih baik bagi cucu-cucunya. Setelah kami bersalaman dan berpisah, suara seretan lidi-lidi itu kembali terdengar. “Sreett...sreett...srett...”
Sarmi tengah menyapu sampah-sampah di kawasan ruko sektor 1.1 BSD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar