Sabtu, 24 Desember 2011

MERRY CHRISTMAS

Okey, gue tau gue jarang ngeblog. ga ada yang baca juga, jadi gue ga pduli.

Tulisan trakhir gue tentang akhir November kmaren. skarang ud menjelang akhir Desember.

Di akhir Desember ini, gue baru sadar ternyata selama ini gue diperhatikan seseorang. Dia baiiik banget. perhatian, dan selalu ada di mana pun gue berada. Setia banget pula. Malam Natal tahun ini aja dia nemenin gue. Pacar baru gue loh! Namanya... TUGAS.
Semua orang pasti kenal sama dia. Biarpun setia, tapi dia ini punya syndrom poligami. Pacarnya bukan cuma gue doang. Masih banyak pacar-pacarnya yang lain. Mulai dari temen deket gue sampe yang ga gue kenal juga dipacarin. Emang gila dia. Sebenernya mau gue putusin, tapi dia anak dosen gue. Kalo gue ga bkin dia seneng, nilai gue bisa C bahkan D. hiks. Andai dia bisa gua lempar ke laut, atau gue racunin, atau gue tenggelemin di got deket rumah gue, hidup gue bakal tentram..

Yaudahlah, gue harus bersyukur dapet pacar setia kyak dia. Jarang-jarang ada yang setia begini.

Kepada semua orang yang sudah punya pacar tapi masih macarin si TUGAS, gue mau mengucapkan MERRY CHRISTMAS!!!

Semoga suatu saat kalian bisa memilih mana yang lebih baik, TUGAS, atau pacar lo yang satu lagi.

Selasa, 29 November 2011

Last November

Ga kerasa yaaa udah akhir bulan ya ampunnn

Bye November! Hello Desember!!

Akhirnya natal udah mau dateng lagii.. Rasanya kmaren baru natal, skarang udah mau natal lagi ajah.

Kalo pas kecil tuh, tiap kali Desember bayangan gue udah boneka salju, salju, pohon natal, sama Mickey Mouse!
Kenapa Mickey Mouse? Gue juga gatau tapi tiap Desember gue sering banget nonton film Mickey Mouse.

Anyway, hari ini udh tanggal 30 November. Akhirnya gue ga pake kupon diskon 50% nya Time Zone gara-gara jadwal padat. Hiks

Kehidupan kuliah gue sesuatu banget deh. Pertamanya gue bener-bener nutup diri banget gara-gara masih penyesuaian nih. *ceileh*
Akhirnya lama-lama gue juga bisa berbaur gtu deh. Ternyata kuliah ngga nyebelin-nyebelin banget ya.
Gue sempet niat nyerah setengah jalan gara-gara ngrasa kaga sreg banget sama sistem nya.
Tapi untungnya Tuhan mendengar doa gue

Huehaheuhauhehuhahue

Nilai uts gue sama sekali tidak bersahabat nih. Mungkin gara-gara niat belajar gue sama sekali nol ya waktu itu. Ditambah lagi otak gue masih terlena sama indahnya Korea gara-gara gue baru pulang dari sono beberapa hari sbelum ujian. Lain kali gue tulis tentang perjalanan gue selama di sana deh. Kalo diinget-inget jadi kangen dehh uhuuuu

Sekian dan terima kasih ya. Gue lagi kelas Inggris skarang. Caooooo :D

Senin, 28 November 2011

Jeng Jeeeennggg!!

Dengan ini resmi sudah ogut punya blog sendiri! *norak*

Berawal dari coba-coba karena temen ada tugas disuruh bikin blog, ehh malah gue yang akhirnya buat. 

Yahh intinya, salam sejahtera buat kalian semua! doakan semoga blog saya aktif,,

Ga tau juga gue siapa yang baca tulisan ini, tapi saya serahkan saja semua pada Tuhan. kalo pake bb emoticonnya bgini  O:)


Say it with words


Perpustakaan adalah rumah kedua baginya. Dia selalu merasa nyaman selama berada di sana. Bau kertas, tumpukan buku, dan berbagai ilmu yang didapat dari setiap lembarannya membuatnya berpikir mungkin tidak ada tempat senyaman ini di dunia. Ia tidak mengerti kenapa orang-orang lebih senang menghabiskan waktu bermain game dan bergosip daripada berada di perpustakaan yang tenang. Ia juga tidak mengerti kenapa ada orang yang tega-teganya membuang dan mencoret-coret buku sumber ilmu pengetahuan itu.

“Selamat pagi, Yui!”

“Pa, pagi..”

“Suaramu kecil seperti biasa ya. Anyway, aku duluan ke kelas ya!”

“U, uhm..”

Cerita ini tentang Minami Yui. Gadis berdarah Jepang-Indonesia-Belanda. Ayahnya murni orang Jepang sedangkan ibunya berdarah Indonesi-Belanda. Yui lahir di kota Fukigaoka 17 tahun yang lalu. Karena ingin mencari suasana baru, 5 tahun yang lalu ayahnya memutuskan untuk pindah ke kota Maima. Kota kecil yang sangat nyaman untuk ditinggali. Penduduknya ramah, tidak terlalu banyak kendaraan bermotor, dan lagi ada perpustakaan besar di sekolahnya. Hal ini sangat menyenangkan karena di sekolah Yui yang dulu perpustakaannya sangat kecil dan tak terurus. Memang, sejak kecil Yui tidak pandai berkomunikasi dengan orang. Iapun diberi julukan Yui si Pendiam karena baik di sekolah maupun di rumah, ia tidak banyak bicara. 6 jam dalam sehari digunakan Yui untuk duduk dan membaca buku. Semua buku di perpustakaan sudah dilahap habis olehnya. Mulai dari buku-buku sejarah hingga buku komik semuanya sudah ia baca. Kebahagiaan kecilnya adalah ketika ia bisa menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Karena itulah ia mendaftarkan diri sebagai pengurus perpustakaan. Hingga sekarang ia menjabat sebagai sekretaris dan resepsionis di perpustakaan sekolahnya.

“Anu.. permisi..”

“...............”

“Permisi~~”

“................”

“Permisiii!”

Eh? Ada yang memanggilku? Siapa? Ga, gadis ini? Kenapa aku bisa melamun begini? Bodoh! Bodoh!

“A, ada perlu apa?” Yui akhirnya mengeluarkan suaranya.

“Ah, akhirnya. Anu.. Apa ada buku lain tentang mobil pemadam kebakaran?”

Buku tentang mobil pemadam kebarakaran? Ada 458 buku tentang itu di perpustakaan ini. Buku apa yang harus kuberikan? Bagaimana kalau aku bilang ada 458 buku seperti itu dan menyuruhnya mencari sendiri? ...Tidak! Tidak mungkin dia kusuruh mencari sendiri. Nanti aku dibilang tak bertanggung jawab..

“Anu..” gadis itu memanggil Yui lagi.

“......Tolong datang lagi... Seusai sekolah...” jawab Yui.

“Seusai sekolah? Setelah sekolah selesai?” tanya gadis itu.

Bodoh! Bodoh! Kenapa aku menyuruhnya datang lagi? Seharusnya aku langsung mengambilkan 1 atau 2 buku dan memberikan padanya. Bagaimana kalau dia marah dan tidak mau datang lagi?

PIIIIIIIIIIIIP PIIIIIIPP PIIIIIIPPP

“Ah gawat. Handphone-ku bunyi. Maaf ya.”

A, anak ini.. Seharusnya dia tahu di dalam perpustakaan tidak boleh berisik!

“...Mohon tenang..” Yui mengingatkan anak itu untuk tidak berisik.

“Oke. Kalau begitu nanti setelah sekolah aku datang lagi ya. Terima kasih!”

            Begitulah. Sekalinya membaca buku, sulit untuk memanggil Yui kembali ke dunia nyata. Setiap kali ia membaca buku, ia akan terus terlarut dan lupa dengan sekelilingnya.

Jam 3 sore...

“Permisii~ aku datang lagi~”

Ah, itu  anak yang tadi menanyakan buku tentang mobil pemadam kebakaran. Aku harus segera mengantarkannya!

Dengan tergopoh-gopoh Yui menarik kereta yang membawa semua buku tentang mobil pemadam kebakaran seperti yang diminta anak tersebut.
“Buku tentang pemadam kebakaran di perpustakaan ini.. Ini sudah semuanya... Ada 458 buku..” Yui menjelaskan. Gadis tersebut tampak terkejut.
“Hmm.. Hebat ya, sistem pencarian di perpustakaan ini.” Seorang anak laki-laki keluar dari belakang perempuan yang meminta buku-buku tersebut.

Bukan sistem pencarian.. Aku ingat hampir semua buku di perpustakaan ini. Karena.. aku sudah baca.. seluruh buku perpustakaan ini.. Tapi aku nggak boleh ngomong begitu! Kalau kukatakan, nanti disangka aneh. Ah! Tapi aku sudah membawakan buku tentang mobil pemadam kebakaran sebanyak ini! Bukannya sudah aneh? Mungkin tadi seharusnya aku membawa 2 atau 3 buku saja... Pakai sok menjelaskan pula. Bodoh! Bodoh! Apa kutanya saja mereka mau buku yang seperti apa? Tapi, kalau kutanya begitu... Tidak, tidak. Sudah terlambat. Pasti nanti mereka bilang kenapa aku tidak tanya dari tadi. Bagaimana ini... Kesempatan bertanyaku sudah hilang...

Setelah berpikir sedemikian rupa, Yui pun melangkah pergi menjauhi kedua orang tersebut dan duduk kembali di meja resepsionis, kembali membaca buku.
“Orangnya pendiam ya, kak.” Kata anak perempuan tadi.
“Kayaknya dia orang yang lumayan baik. Ayo pulang, Ellie.”

            Aku sulit berkomunikasi dengan orang lain... Tapi, biarlah... Asalkan ada buku... Asalkan aku ada di perpustakaan... Aku akan baik-baik saja... Aku akan terus hidup di dalam benteng ini...

Esoknya, saat istirahat siang, seperti biasa Yui duduk di meja resepsionis perpustakaan sambil membolak-balikan lembaran buku yang ia baca. Tiba-tiba, ketua petugas perpustakaan datang menghampiri Yui yang sedang asyik dengan dunianya sendiri.

“Yui, jangan lupa membereskan buku yang akan dibuang nanti ya!”

Lagi-lagi, Yui hanya terdiam dan terus membolak-balikan halaman buku yang ia baca. Membaca dengan asyiknya.
“Hei, Yui!” bentak Ketua. Ia sudah tahu kebiasaan Yui saat membaca, jadi ia hanya perlu berteriak sedikit untuk mengembalikan Yui ke dunia nyata.
“......Eh? Ah, ketimun.” akhirnya Yui menjawab. Namun, jawabannya tidak sesuai harapan ketua. Yui biasanya selalu terpengaruh buku yang ia baca, dan sekarang ia sedang membaca buku tentang variasi resep untuk memasak ketimun, begitulah jadinya. Meskipun Ketua sudah terbiasa dengan hal ini, tetap saja ia tidak pernah bisa berhenti terheran-heran kenapa ada anak seunik Yui.

“Ma, maksudku, Ketua. Ada apa?”

Waaa! Lagi-lagi aku terpengaruh buku yang kubaca. Kenapa aku bisa begini bodoh? Sudah berapa kali Ketua memanggilku? Ahh.. semoga saja ia tidak marah.. Dasar bodoh! Lain kali aku harus lebih fokus!

“Haaah... Aku sudah tahu kau selalu begini. Jangan lupa bereskan buku-buku tua yang akan dibuang dari perpustakaan ini! Jangan suruh aku mengulangnya lagi!”

“...Baik...”

            Membuang buku, bagi anak penyuka sastra seperti Yui, membuang buku adalah hal yang sangat menyedihkan. Kalau bisa, Yui ingin menyimpan semua buku-buku yang dibuang perpustakaan ini. Namun, orangtua Yui tidak mengizinkan. Mereka tidak mau rumah mereka jadi tidak bisa dibedakan antara rumah atau perpustakaan. Karena itu, Yui hanya bisa pasrah setiap kali hari pembuangan buku tiba.

            Dengan lunglai dan banyak pikiran, Yui menghampiri rak buku satu per satu dan mengambil buku-buku tua yang ada di dalam daftar.

Selamat tinggal para buku... Sebentar lagi... Kalian akan meninggalkan perpustakaan ini. Ada yang dipindahkan ke perpustakaan lain, ada yang ke toko buku tua, dan ada yang ke...

Yui tidak berani melanjutkan kalimatnya, karena itu terlalu menyakitkan untuk diucapkan. Semua orang tahu, buku yang sudah tidak diminati dan dianggap tua akan dibuang ke tempat sampah, atau mungkin didaur ulang.

Bisa-bisanya... membuang sumber pengetahuan... Bodoh!

            Ketika Yui mencoba mengambil buku akuntansi yang terdapat pada barisan rak buku paling atas, keseimbangannya mulai goyah karena buku yang terlalu tebal dan berat itu. Akhirnya keseimbangannya benar-benar lepas dan Yui pun mulai terjatuh, tidak bisa melawan gravitasi bumi.

Wa-waaa! Aku akan jatuh!

Dengan mata terpejam, Yui siap menerima apa pun yang akan terjadi. Bisa dibilang, pasrah. Namun, tubuhnya tidak kunjung menyentuh lantai, malah ada sesuatu yang empuk yang menahannya.

.....Tidak jadi jatuh...? Kenapa? Rasanya di belakangku tadi tidak ada apa-apa.

Perlahan-lahan, ia melihat ke belakang, penasaran akan suatu ‘benda’ yang menahannya jatuh itu. Ternyata itu bukan benda. Seorang anak laki-laki menahan Yui yang hampir jatuh itu dan berhasil menangkap buku tersebut sebelum jatuh ke lantai. Anak laki-laki itu adalah kakak dari Ellie Videl, anak perempuan yang kemarin mencari buku tentang mobil pemadam kebakaran. Sedangkan kakaknya ini bernama Edward Videl.
“Buku-buku ini mau dibuang ya.” Edward mendekati buku yang akan dibuang tersebut, dan mulai melihat-lihat.

Waaa! Ti, tidak kusangka ada yang menahanku! Baru kali ini aku bersentuhan dengan anak laki-laki... Eh, orang ini ‘kan yang kemarin... Tadi dia menolongku ya. Kenapa? Ah, dia baik ya? Iya, baik. Kenapa menolongku? Ah, mungkin biasa saja... Oh iya, aku harus berterima kasih... Hmmm... Ngomong biasa saja? Yang sederhana saja...Lho? Kemarin ‘kan, aku bertemu dengannya... Apa kubilang saja “Terima kasih kemarin”? Tunggu. Tunggu, mungkin saja dia tidak ingat... Gawat, kalau aku bingung terus, nanti kesempatan untuk ngomongnya hilang lagi! Cepat katakan sesuatu! Cepat bilang terima kasih!

Akhirnya Yui memutuskan untuk berterima kasih. Namun lagi-lagi ia terpengaruh buku yang ia baca. Meskipun baru judulnya saja yang terbaca, tetapi ia tetap terpengaruh. Buku yang ia pegang sekarang berjudul “Teori Ekonomi Morita Shige”. Jadi, beginilah ucapan terima kasihnya...

“Te, terima komi...”

Hening sesaat. Yui tidak pernah menyangka ucapan terima kasihnya dapat menjadi seperti itu.

Waaa! Mestinya terima kasih, tahu! Lagi-lagi aku terpengaruh buku yang aku baca! Kenapa ngomong dua kata saja aku tidak bisa?! Cepat tinggalkan tempat ini... Kata-kataku barusan pasti akan segera dilupakannya.

Sambil membereskan buku yang akan dibuang tersebut, Yui berjalan perlahan menjauhi Edward, berharap apa yang ia katakan barusan sudah dilupakan.
“Tapi... Buku itu... Memang lebih baik tidak ada.” Edward melanjutkan ucapannya. Mendengar itu, Yui terkejut dan berbalik menghadap Edward lagi. Edward pun melanjutkan kata-katanya dengan wajah yang tenang.
“Buku cuma menghabiskan tempat. Lebih baik disimpan dalam bentuk data!”

Ngo-ngomong apa orang ini?! Buku ‘kan ada sampul dan dijilid! Ada isi di dalam dan ada tanda penerbit! Harum kertas! Ketebalan! Bisa disentuh! Buku menciptakan sebuah dunia! Tidakkah kau merasa tegang saat melihat kalimat di display dan saat membalik tiap halaman?! Ta-tapi penilaian tiap orang berbeda ya. Aku harus sabar... Biarkan saja dia katakan apa yang dia ingin katakan... Lagipula aku memang tidak bisa ribut dengan orang yang tak kukenal...

Yui kembali membalikkan badannya dan mulai berjalan lagi, sampai Edward mengatakan sesuatu yang membuat kesabarannya habis.
Scan saja semuanya. Jadi semua buku bisa dibuang.”
Kesabaran Yui benar-benar habis. Ia menghampiri Edward dan ingin membalas kata-katanya dengan beribu kata yang ada di dalam pikirannya.
“Bo, bodoooh!!”
Akhirnya hanya satu kata yang keluar, dan Yui segera menyesal telah mengatakannya. Ia terus mengutuki dirinya sendiri selama berjalan menjauh dari Edward.

Da, dasar bodoh! Padahal aku sudah tahu penilaian orang berbeda-beda. Kenapa aku malah mengatainya?! Tapi, dia pantas menerimanya! Aku benci orang yang menganggap remeh buku! ....Kenapa aku bisa ngomong begitu ya... Padahal aku mesti mengucapkan terima kasih tadi... Huuh... Kenapa aku bilang bodoh setiap kali gagal mengucapkan terima kasih? Padahal lebih baik kalau sebaliknya... Mulutku payah... Bodoh, bodoh. Mulutku bodoh! Ah... Komunikasi itu sulit ya... Dulu, aku terkenal lambat... Tapi bukan begitu. Aku selalu berpikir cepat! Hanya saja tak bisa kukatakan! Mulutku terlalu kecil untuk menyuarakan isi hatiku... Bahkan tentang buku yang sangat kusukai... Kesanku terhadap buku itu sudah kutulis sebanyak 100 halaman. Aku malah disangka aneh... Buku... tidak mendesakku... aku bisa tenang... Dalam buku, aku bebas. Mengetahui banyak kata, dan bisa memakainya dengan leluasa. Meskipun tidak bicara dengan orang, aku tahu segalanya.
Komunikasi tak dibutuhkan!! Ya. Benar. Aku hidup dalam dunia buku!

Sementara itu, di kediaman keluarga Videl, Edward baru saja pulang dari sekolah. Padahal waktu sudah menunjukan pukul 5 sore. Ellie menghampiri kakaknya itu dengan penasaran.
“Kakak kenapa baru pulang sekarang? Tadi ke perpustakaan lagi ya? Akhir-akhir ini Kakak sering sekali ke perpustakaan. Aku saja tidak serajin itu.” Ellie menyerang kakaknya yang masih lelah itu dengan pertanyaan beruntun.
“Yah.. Kakak ‘kan memang senang dengan suasana perpustakaan. Tenang dan nyaman. Tidak ada yang bisa mengganggu kalau sedang di sana.” Jawab Edward sambil melihat-lihat lauk yang ada di meja makan.
“Ah, masa sih? Bukannya Kakak sedang pdkt sama si resepsionis Minami?” Ellie tersenyum-senyum jahil sambil sesekali melirik ke arah kakaknya.
“Tuh tahu. Ngapain tanya?” Jawab Edward lagi sambil meneguk segelas air dingin yang ada di kulkas.
 “Eh?! Betul? Padahal Ellie cuma bercanda lho. Kapan kakak mau nembak dia?”
“Kamu mau tahu saja, deh. Pokoknya tahu beres saja deh kamu.”
“Yakin sekali kakak. Kalau begitu Ellie tunggu makan-makannya saja ya!”
Edward hanya menjawab dengan lambaian kecil sambil berjalan menuju kamarnya. Ia sangat lelah hari ini. Sesampainya di kamar ia langsung melempar tasnya dan menjatuhkan diri di atas ranjang.
“Yui... gadis yang unik.” katanya lirih. Tak lama kemudian ia pun tertidur.


Esoknya, Edward datang lagi ke perpustakaan, berharap menemukan Yui di sana. Tentu saja ketemu. Yui tak pernah beranjak dari sana, kecuali saat pelajaran dan saat pulang. Sungguh mudah untuk mencarinya. Ia melihat Yui sedang mengikuti rapat antar petugas perpustakaan.

“Jadi, teman-teman semua, minggu depan kita akan memasang stan audio visual di perpustakaan.”

Ketua menjelaskan dengan semangat. Tentunya anggota petugas perpustakaan yang lainnya juga dengan semangat merespon. Kecuali Yui. Ia sangat tidak setuju dengan dipasangnya stan audio visual tersebut, karena Yui sudah sangat menikmati suasana perpustakaan yang sekarang, dan kalau stan audio visual dipasang, perpustakaan akan berbeda, buku-buku akan semakin berkurang, dan siswa yang lain akan semakin melupakan buku. Namun, seperti biasa Yui tidak bisa menyuarakan isi hatinya. Ia hanya duduk terdiam dan tidak melakukan perlawanan atas keputusan tersebut.

“Baiklah, semuanya akan dipasang minggu depan saat perpustakaan libur. Semua petugas perpustakaan datang, ya!” ketua memberikan kalimat terakhirnya.

“Kalau tidak ada yang ditanya lagi, bubar~ sampai jumpa minggu depan.”

Setelah rapat bubar, Yui berjalan kembali ke tempatnya biasa, pikirannya penuh dengan banyak hal.

Andaikan mereka mau menunggu sampai aku bicara... Oh, para leluhur, seharusnya kalian mengembangkan telepati, bukan dialog. Dengan begitu, tidak pintar bicara juga tidak apa-apa. Kenapa dialog diperlukan dalam komunikasi ya. Haah...

Di tengah perjalanan, Yui melihat ada siswa yang sedang mencoret-coret buku perpustakaan.

A, a, a, anak ini! Dia mencoret-coret buku!

Dengan sigap ia menarik atau lebih tepatnya menjambret buku yang dicoret-coret itu dari tangan siswa tersebut yang ternyata adalah Edward Videl.

Ah, orang ini kan yang ngomong kasar kemarin! Perpustakaan adalah milik semua orang! Kenapa kau mencoret-coret buku?! Orang macam apa kau?! Orang seperti ini lebih baik mati saja!

“Ti, tidak boleh mencoret-coret buku!” Yui akhirnya mengeluarkan suaranya.
“Aku hanya mengoreksi. Kronologi buku ini isinya hampir salah semua, sih.” Edward menjawab dengan ringannya.
“Buku adalah sumber informasi. Informasi yang salah nggak berarti.” Lanjutnya.

Be, benar sih.. tapi tidak boleh mencoret-coret buku! Pikirkan capeknya untuk menghapus coret-coretan itu dong!

“Buku nggak bisa segera dibetulkan ya. Benar-benar sudah ketinggalan zaman.” Kata Edward lagi.
Lagi-lagi Yui kehabisan kesabaran. Ia benar-benar marah sekarang.
“Bo, bo, bodoooooh!”
Setelah mengatakan itu, Yui langsung melangkahkan kakinya menjauh dari Edward. Semua kata-kata kasar itu adalah strategi Edward untuk mendekati Yui. Strategi yang cukup unik, memang.

            Hari berikutnya, Edward mampir lagi ke perpustakaan. Kali ini dia membawa bukunya sendiri dan mencoret-coret bukunya itu. Yui yang melihat itu, langsung berjalan menghampiri Edward.

Lagi-lagi dia mencoret buku! Harus dibilangin berapa kali, sih?! Hari ini aku tidak akan dengar alasannya lagi! Ya! Akan kukatakan dengan tegas!

Yui menyambar buku yang sedang dicoret Edward dengan cepat. Edward yang sudah menduga hal itu dengan santainya mengatakan, “Itu bukuku. Bukan buku perpustakaan kok. Kembalikan.”
Otomatis, Yui pun terkejut dan menjadi sangat malu.

Kenapa setiap kali aku sudah bertekad untuk bicara malah jadi begini... Dia siapa sih? Haruskah aku minta maaf.. Tidak, kalau pada orang seperti dia, sih, aku tidak akan minta maaf!

“Dilarang mencoret-coret! Bukan, dilarang semuanya! Kau mengganggu. Kau dilarang masuk!” Yui mengeluarkan suaranya dengan lemah. Kali ini lebih banyak kata-kata yang ia keluarkan.
“Kalau stan audio visual sudah dipasang... perpustakaan akan penuh dengan orang sepertimu dan perpustakaan akan...” Yui tidak melanjutkan kata-katanya. Ia terlalu terkejut menyadari ia sudah bicara terlalu banyak. Ia pun berlari menjauh dari Edward.

Ke, kenapa? Kata-kata dan pikiranku jadi terbalik... Sejak dia datang ke perpustakaan ini, aku menjadi aneh!

Setiap hari Edward datang ke perpustakaan dan meskipun hanya sedikit, ia berhasil menjalin komunikasi dengan Yui. Namun hanya rasa sebal yang ada dalam hati Yui terhadap Edward, karena Edward terus bersikap cuek dan mengganggu pekerjaan-pekerjaannya sebagai petugas perpustakaan. Kemudian, Jumat itu Edward datang lagi. Kali ini hanya menumpang duduk-duduk. Dari balik rak buku dekat tempat Edward duduk, Yui mengawasi Edward, dan Edward menyadari kehadiran Yui.

“Kan sudah kubilang... Kau dilarang masuk.. aku tahu... kau mau datang mengganggu lagi...”

Edward cukup terkejut mendengar Yui berbicara seperti biasa, karena biasanya Yui lebih banyak berpikir daripada berbicara.

“...Kamu bisa ngomong biasa juga?” tanya Edward.

Yui sendiri terkejut. Padahal kata-katanya barusan seharusnya ada di dalam pikirannya. Namun tanpa sadar ia menyuarakan isi hatinya tersebut. Yui mulai membuka hatinya. Edward tahu itu.

“Tapi... perpustakaan itu nyaman ya.” Ucap Edward sambil menerawang jauh.

“Di luar, di mana-mana berisik. Aku ingin hidup tanpa diganggu siapapun.” Lanjutnya.

Mendengar itu, tanpa sadar Yui melangkahkan kakinya pelan, mendekat, dan duduk di depan Edward.
“...Benar... Perpustakaan... adalah tempat yang luar biasa. Benteng kertas ini... melindungimu dari kenyataan..” Yui berbicara sambil tetap malu-malu, tapi kata-kata yang ia keluarkan sudah semakin banyak dari biasanya.
“Namaku Edward Videl.” Edward tiba-tiba mencairkan suasana setelah sekitar 3 detik mereka saling bertatapan. Terkejut, dengan spontan Yui menjawab, “Aku.. Yui... Minami Yui...” setelah mengatakan itu, wajah Yui terasa semakin memanas. “Si, silahkan santai saja...” setelah mengatakan itu, ia pun beranjak pergi dari sana.

Ha..harusnya tadi jangan kusebut namaku... Orang itu tiba-tiba mengenalkan diri, sih... Orang itu berbahaya! Ini pasti Cuma refleks, refleks!
...Tapi... aku merasa cocok dengan orang itu...

Sesampainya di meja resepsionis, Yui melihat ada sebuah surat. Surat pemberitahuan lebih tepatnya. Tiap baris yang ia baca membuat emosinya meningkat. Dirunyekkan kertas itu, dan dilemparnya ke tempat sampah. Surat itu ternyata berisi pemberitahuan bahwa Selasa depan stan audio visual akan benar-benar dipasang. Yui langsung beranjak pulang dan mulai mengatur strategi penolakan.

Selasa, hari pemasangan stan audio visual. Para petugas perpustakaan sudah berdatangan, kecuali Yui. Namun tidak ada yang sadar. Saat Ketua perpustakaan memutar kenop pintu perpustakaan, pintunya tidak bisa terbuka. Tidak ada yang memegang kunci. Para petugas panik. Mereka segera mencari tahu ada apa yang terjadi. Di depan pintu, sebuah kertas tertempel dengan tulisan yang amat kecil, yang berbunyi, “Aku menolak pemasangan stan audio visual. Minami Yui.”
Yui mengunci semua pintu perpustakaan. Ia duduk di meja resepsionis seperti biasa dengan perasaan was-was.

Uuuh.. aku telah berbuat ulah. Apa... kuhentikan saja... Ba, bagaimana kalau mereka memanggil guru... Tidak, aku tidak boleh melemah! Aku harus bersiap menghadapinya! Tak akan kubiarkan buku-buku ini dibuang! Bisa-bisanya membuang buku dan memasukkan CD yang bisa dibeli di manapun sebagai pengganti! Perpustakaan bukan toko! Memang, sih, buku jarang dipinjam, tapi perpustakaan ‘kan, gunanya untuk melindungi buku! Perpustakaan yang penting ini harus kulindungi! Aku menolak pemasangan audio visual!

DOK DOK DOK!!!

“Yui! Bukaaa!!!” suara siswa-siswa petugas perpustakaan sangat mengejutkan Yui. Ia takut. Sangat takut. Yui tidak mau terlibat dalam masalah. Namun, ia lebih tidak mau lagi melihat buku-buku dibuang. Tiba-tiba dari belakang, terdengar suara langkah orang mendekat. Yuipun menjadi semakin takut.

Si, siapa? Kenapa bisa masuk? Padahal semua pintu sudah kukunci...

Sosok tersebut semakin mendekat. Makin lama makin jelas. Ternyata sosok itu adalah Edward. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi, maka dari itu, sejak semalam ia sudah menginap di perpustakaan tanpa diketahui siapapun.

“Hai.” Edward memulai pembicaraan. “Aku juga tidak mau tempat yang tenang ini tercemar. Aku mendukungmu.”

Kukira dia mau datang cari ribut... tiba-tiba saja muncul di sini, benar-benar... seperti tokoh dalam cerita...

“Si, silahkan.” Yui menyuguhkan sebuah teh dalam botol untuk Edward.

“Makasih.”  Jawab Edward sambil tersenyum manis. Hampir merobohkan banteng pertahanan Yui.

Orang yang baik... Dia benar-benar datang untuk mendukungku ya. Apa lebih baik kuajak dia bicara ya... Tapi ngomong apa dulu? Nggak ada topik...

Selama Yui menggalaukan pikirannya dengan berbagai macam hal, seluruh lampu perpustakaan mendadak mati. Spontan Yui meraih apa pun yang ada di dekatnya dan memeluknya erat. Barulah ketika matanya terbiasa dengan kegelapan, ia mendapati dirinya sedang memeluk Edward. Kaget, ia bergerak menjauh dengan cepatnya. Namun sayang, tubuh mungilnya menabrak tumpukan buku yang ada di dekatnya dan menyebabkan tumpukan buku itu mulai jatuh. Edward yang melihat hal tersebut dengan sigap menarik lengan Yui dan menariknya lagi ke dalam pelukannya.

“Kamu terlalu ceroboh.” Ledeknya.

“Benar-benar, deh... Sampai kapan aku harus berurusan dengan dunia ini? Aku ingin bisa tenang...” ucap Edward lagi.

Benar... kenyataan itu mengerikan... berhubungan dengan orang juga merepotkan... Edward... pasti mau memahami perasaanku...

“Aku juga ingin... selalu berada di perpustakaan yang tenang...” Yui berbicara lagi, berharap Edward mau memahaminya.

“Itu bohong kan?” jawab Edward. Jawaban yang sungguh mengejutkan bagi Yui.

“Kamu pasti ingin sekali bicara dengan orang, ‘kan? Tapi kamu takut... Kamu tidak mau dibenci orang kalau bicara.” Lanjutnya.

“So, soal itu... siapa pun pasti... Edward juga pasti...” Yui hendak menjawab pernyataan Edward barusan.

“Aku sama sekali tidak memikirkan tentang dunia nyata.” Edward menyela.

“Karena aku, punya dunia yang kupercayai.” Lanjutnya.

“Yui sekarang ingin melindungi buku-buku ini? Atau kamu ingin melindungi tempat persembunyianmu dari dunia luar?”

Bu...kan! Aku... aku suka buku! Tapi... aku ingin bicara... ingin bicara tentang buku! Aku ingin bicara! Tapi sekarang sudah terlambat... sudah terlambat... Mulutku sudah tidak bisa dipakai...
Percuma...
Aku tidak bisa keluar dari sini...
Percuma...
Aku takut dengan dunia luar...
Orang lain itu menakutkan...
Percuma...
Aku takut...
Andaikan aku punya keberanian... tapi aku tak punya... Rasanya tak tersampaikan... Suaraku tak tersampaikan... Tak tersampaikan...

“Yui!” Edward menyadarkan Yui dari lamunannya yang semakin lama semakin dalam. Yui terisak.

“Aku... aku ingin bicara... tentang buku...” katanya sambil terisak lagi. Air matanya perlahan-lahan jatuh. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes. Semakin lama semakin deras.

“Aku.. aku ingin punya... keberanian...” katanya lagi. Air matanya semakin deras.

“Aku akan memberimu... keberanian itu.” Edward memeluk hangat tubuh mungil Yui.

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku akan selalu bersamamu. Membagi keberanianku untukmu...”

Cukup lama hingga Yui menjadi benar-benar tenang. Matanya sembab karena terlalu lama menangis. Edward dengan setia menemani Yui hingga tidak ada lagi isakan yang dikeluarkannya.

“Ed... maaf, aku merepotkanmu...” Yui akhirnya bersuara lagi.

Dengan lembut Edward mengecup pelan kening Yui.

“Tidak perlu meminta maaf. Aku akan selalu ada saat kamu dalam masalah. Aku akan selalu di sini. Bersama Yui.”

Mendengar itu, jantung Yui berdegup benar-benar kencang. Baru kali ini ada yang bicara padanya seperti itu.

“Nah, sekarang ayo kumpulkan keberanianmu dan berkatalah sejujurnya pada petugas perpustakaan yang lain. Kalau kamu benar-benar memikirkan buku-buku, mereka pasti mengerti.” Edward membujuk Yui untuk menyelesaikan masalah perpustakaan tersebut. Untungnya Yui mau menurut dan akhirnya membuka semua pintu. Para petugas perpustakaan pun langsung menghampiri Yui.

“Ma, ma, maaf sudah menyusahkan kalian...  Aku... Aku tidak bisa membuang buku-buku ini... Maaf... Tapi, kurasa setiap buku punya hal.. yang ingin disampaikannya pada seseorang.”

Suara hati Yui menyentuh para petugas perpustakaan. Akhirnya buku-buku itu tidak jadi dibuang, meski stan audio visual tetap dipasang. Perlahan-lahan, Yui menjadi semakin berani menyuarakan pikirannya, meski terkadang ia masih larut dalam pikirannya sendiri. Tapi berkat Edward, keberaniannya semakin lama semakin terpupuk, dan perlahan-lahan, Yui menjadi lebih riang dari biasanya.


EPILOG

“Hei, waktu itu.. kamu bilang kalau kamu punya dunia yang kamu percayai. Dunia seperti apa itu?”
“Haah? Kamu masih ingat?”
“Tentu. Jadi, apa kamu akan member tahu dunia seperti apa itu?”
“Kurasa ini bukan topik yang menarik untuk dibicarakan...”
“Ayolah... aku ‘kan ingin lebih mengenalmu...”
“Ngomong-ngomong, kamu jadi lebih banyak bicara, ya.”
“Jangan alihkan pembicaraan!”
“...Yah... dunia yang kumaksud waktu itu.. dunia di mana ada aku, mama, papa, Ellie... dan Yui.”
“Eh? Aku?”
“Ya. Saat itu aku ingin memercayai bahwa kamu akan selalu ada di duniaku.”
“Kalau sekarang?”
“Tentu saja masih. Aku menyayangimu, Yui.”
“Dan aku menyayangimu, Ed.. Terima kasih... kau selalu ada bersamaku sejak hari itu...”

END =)