Selasa, 07 Mei 2013

{Perjalanan: Monumen Nasional}



  “Saya benci Amerika!” ujar Daryono (39), seorang sopir taksi yang saya tumpangi dalam perjalanan pergi ke Monumen Nasional, atau lebih terkenal dengan sebutan Monas.
Sekitar pukul delapan kurang lima belas menit, dari Stasiun Rawa Buntu saya naik kereta kelas ekonomi menuju Stasiun Tanah Abang. Pagi itu, udara masih sangat sejuk. Kendaraan umum maupun pribadi sudah berlalu lalang di jalanan. Termasuk mobil saya. Setelah memarkirkan mobil di daerah parkiran, saya beserta dua orang teman saya yang saat itu hendak pergi ke kampus meggunakan kereta.
Selama di dalam kereta, kami sama sekali tidak duduk. Pada jam-jam masuk kerja seperti itu, wajar saja jika kondisi di dalam kereta sangat ramai. Apalagi di dalam kereta kelas ekonomi. Penjual dan pengamen bebas berlalu lalang di dalam kereta. Yang dijual pun macam-macam, mulai dari koran, tisu, tahu goreng, sampai ada yang menjual jasa menyapu kereta. “Kaos kaki.. kaos kaki...” “tisu.. tisu.. dua ribu tiga.. dua ribu tiga...” Di tengah-tengah suasana yang sumpek dan panas itu, tidak sedikit yang menggunakan tangan atau kertas atau alat apapun yang dapat dijadikan kipas untuk sekedar mengipas-ngipas diri. Kami hanya difasilitasi dengan beberapa buah kipas angin yang terletak di langit-langit kereta yang tidak terlalu membantu, karena dalam kondisi berdesak-desakan seperti itu sekedar kipasan kecil dari atas tidak akan terasa. Selain itu, tidak sedikit penumpang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang asik mengobrol, tidur, ataupun membaca koran.

Perjalanan dari Stasiun Rawa Buntu sampai ke Stasiun Tanah Abang kurang lebih memakan waktu 30-45 menit. Selama itu pula kami berdiri menunggu sampai ke tujuan. Setelah melewati stasiun Sudimara, Jurang Mangu, dan Pondok Raji, sampai pada Stasiun Kebayoran, penumpang sudah mulai berkurang banyak. Angin dari jendela dan pintu kereta sudah lebih bebas keluar masuk. Kami pun menikmati angin pagi yang saat itu masih berhembus dengan sejuknya dengan berdiri agak dekat ke pintu kereta. Kurang lebih lima menit kemudian kami sampai di Stasiun Palmerah, yang berarti tidak lama lagi kami akan sampai ke Stasiun Tanah Abang.
Sesampainya di Stasiun Tanah Abang, kami menunggu sebentar sampai semua penumpang keluar dari kereta. Pagi itu memang benar-benar ramai, karena meskipun kami sudah menunggu beberapa menit untuk kemudian keluar dari kereta, masih banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang di kereta sehingga membuat kami terpisah dan sulit mencapai jalan keluar. Namun, setelah beberapa menit, kami akhirnya bertemu kembali tepat di tangga keluar stasiun. Lalu kami berjalan kaki selama sekitar lima menit. Lalu saya dan kedua teman saya berpisah, saya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan taksi, sementara kedua teman saya menyambung menggunakan angkutan umum berwarna biru muda.
Namanya Daryono. Sudah kurang lebih satu tahun bekerja sebagai supir taksi Blue Bird. Karena biasanya mengantar penumpang dari bandara, dia tidak begitu tahu ketika ditanyakan seputar kondisi jalanan Jakarta ketika Hari Buruh tanggal 1 Mei 2013 kemarin. Namun, Daryono begitu semangat ketika dimintai opini mengenai Hari Buruh yang setiap setahun sekali diperingati. “Buruh itu sebenarnya tidak anarkis. Pemerintah seharusnya lebih memikirkan buruh,” katanya. Apakah sebenarnya Hari Buruh itu?
Untuk yang belum tahu, Hari Buruh, pada umumnya diperingati setiap tanggal 1 Mei dan dikenal dengan istilah May Day. Hari Buruh ini adalah sebuah hari libur (di beberapa negara) tahunan yang berawal dari usaha gerakan serikat buruh untuk merayakan keberhasilan ekonomi dan sosial para buruh. (sumber: Wikipedia)
May Day lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja. Satu Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada Konggres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk, selain memberikan momen tuntutan delapan jam sehari, memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut. Tanggal 1 Mei dipilih karena pada 1884 Federation of Organized Trades and Labor Unions, yang terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872, menuntut delapan jam kerja di Amerika Serikat dan diberlakukan mulai 1 Mei 1886. (Sumber: Wikipedia)
Daryono sangat bersemangat berbicara tentang Indonesia. Dengan menggebu-gebu berkali-kali dia mengatakan bahwa Indonesia ini adalah negara yang kaya, dan kalau Indonesia punya tekad untuk maju, pasti bisa maju. Menurutnya hanya Soekarno dan Suharto-lah Presiden Indonesia yang paling becus menjalankan pemerintahan. Dengan nada kecewa dia mengatakan bahwa setelah zaman Suharto, belum ada presiden yang mampu menggantikan mereka berdua. Sambil terus mengemudikan mobil taksi dengan terampil, Daryono menambahkan bahwa saat ini Indonesia terlalu terpengaruh pada budaya asing, khususnya Amerika. “Saya benci Amerika!” ujarnya. Bahkan, dengan bangga dia mengatakan bahwa ayahnya adalah anggota PKI dan dia pun adalah salah satu pendukung PKI. Namun, dia menolak untuk masuk ke dunia politik. Menurutnya, lingkaran politik adalah lingkaran setan yang membutakan.
Tidak terasa sekitar 15 menit kami telah berbincang-bincang dan saya sampai di depan pintu masuk Monumen Nasional. Saya memberikan tiga lembar uang sepuluh ribuan kepada Daryono dan melanjutkan perjalanan saya untuk sampai ke dalam Monas. Dari pintu masuk sampa ke depan Monas ternyata tidak sedekat yang saya duga. Jam di handphone saya sudah menunjukkan angka sembilan. Cuacanya pun tidak sesejuk tadi. Sekarang, banyak pedagang-pedagang minuman dan makanan kecil di sekitar jalanan menuju Monas berteduh di bawah pohon terdekat. Di tengah jalan, saya berpapasan dengan rombongan anak-anak dari SMP Tunas Harapan Nusantara yang ternyata sedang study tour ke Monas. Kami berjalan bersama menuju Monas. Sekitar 10 menit kemudian, tubuh Monas yang panjang dan kokoh mulai terlihat. Semakin lama semakin jelas terlihat, dan akhirnya kami sampai di depan Monas. Angin di sekitar berhembus sangat kencang, tapi tidak menggoyakan posisi Monas sedikitpun. Di sekitarnya, terdapat berbagai macam tumbuhan yang terlihat sangat terawat menghiasi pintu gerbang Monas.

Namun, setelah melihat sekeliling, saya tidak kunjung menemukan loket karcis untuk masuk ke dalam Monas. Jadilah saya berjalan lagi mengitar Monas untuk sekalian mencari pintu masuk. Beberapa menit kemudian, akhirnya didapati bahwa untuk masuk ke dalam Monas, kita harus masuk dari bawah tanah. Okey, perjalanan berlanjut dan saya masuk dari bawah tanah. Setelah melewati lorong yang sangat panjang, akhirnya ketemu-lah loket karcis masuknya. Biaya tiket masuk untuk anak-anak sebesar Rp 2.000,-, untuk mahasiswa Rp 3000,- dan dewasa Rp 5.000,-. Saya hanya perlu membayar tiga ribu rupiah untuk dapat masuk ke dalam Monas dan hanya menambah lima ribu rupiah lagi untuk naik sampai ke puncak Monas.
Monas adalah monumen peringatan setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pembangunan monumen ini dimulai pada tanggal 17 Agustus 1961 di bawah perintah presiden Sukarno, dan dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975. Tugu ini dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emas yang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala. Monumen Nasional terletak tepat di tengah Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat. Monumen dan museum ini dibuka setiap hari mulai pukul 08.00 - 15.00 WIB. Pada hari Senin pekan terakhir setiap bulannya ditutup untuk umum. (Sumber: Wikipedia)
Pada halaman luar mengelilingi monumen, pada tiap sudutnya terdapat relief timbul yang menggambarkan sejarah Indonesia. Relief ini bermula di sudut timur laut dengan mengabadikan kejayaan Nusantara pada masa lampau; menampilkan sejarah Singhasari dan Majapahit. Relief ini berlanjut secara kronologis searah jarum jam menuju sudut tenggara, barat daya, dan barat laut. Secara kronologis menggambarkan masa penjajahan Belanda, perlawanan rakyat Indonesia dan pahlawan-pahlawan nasional Indonesia, terbentuknya organisasi modern yang memperjuangkan Indonesia Merdeka pada awal abad ke-20, Sumpah Pemuda, Pendudukan Jepang dan Perang Dunia II, proklamasi kemerdekaan Indonesia disusul Revolusi dan Perang kemerdekaan Republik Indonesia, hingga mencapai masa pembangunan Indonesia modern. Relief dan patung-patung ini dibuat dari semen dengan kerangka pipa atau logam, sayang sekali beberapa patung dan arca mulai rontok dan rusak akibat hujan dan cuaca tropis. (Sumber: Wikipedia)

Setelah membayar tiket masuk, saya memutuskan untuk berjalan-jalan ke puncak Monas dulu, karena menurut Pujo, security yang berjaga di dalam Monas, Ruang Kemerdekaan hanya dibuka setiap satu jam sekali. Saat itu waktu baru menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Saya pun mengantre lift untuk sampai ke puncak yang ada di lantai tiga. Lift hanya berkapasitas 11-12 orang, dan di dalam ada seorang penjaga lift yang duduk di depan tombol lift sambil mendengarkan radio dari handphone-nya menggunakan headset.
Sampai di puncak, angin berhembus lebih kencang lagi. Saya sampai harus mengikat rambut saya saking kencangnya angin di sana saat itu. Berada di puncak Monas terasa luar biasa. Tempatnya tidak terlalu luas, hanya sekitar 10 x 10 meter. Banyak turis yang turut kagum dengan pemandangan dari puncak Monas yang luar biasa itu. Seorang turis Jepang berbicara dengan temannya, “sugoi ne..” yang artinya “luar biasa ya...” Saya sebagai warga negara Indonesia, bangga mendengar ucapan tersebut dari orang asing. Karena, Monas berarti tidak kalah dari Tokyo Tower maupun Eiffel Tower. Di puncak, disediakan teropong untuk melihat-lihat pemandangan Jakarta lebih dekat lagi.

Terakhir, saya mengunjungi Ruang Kemerdekaan yang tepat dibuka pukul 10 pagi. Saat masuk ke dalam ruangannya, lagu Bagimu Negri berkumandang di dalam ruangan.

Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami

Berakhirnya lagu Bagimu Negri langsung disertai suara presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno yang membacakan naskah Proklamasi.

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta

            Perjalanan ini cukup menguras tenaga. Tetapi pengalaman ini adalah pengalaman pertama saya mengunjungi Monumen Nasional sendiri. Saya mendapati bahwa tiang api berlapis emas yang terdapat di puncak Monas merupakan “Api Nan Tak Kunjung Padam” yang artinya adalah agar bangsa Indonesia selalu memiliki semangat yang menyala-nyala dalam berjuang dan semangat itu tidak akan mati sepanjang masa.
(Credit all photos: Wenny Lovenza Anastacia)

Rabu, 01 Mei 2013

Feature Profil



Kuli Nyapu BSD
Wenny Lovenza Anastacia
11140110128

Hari itu, matahari masih di timur. Udara masih sejuk yang disertai angin sepoi-sepoi, suara kicauan burung masih terdengar jelas. Ya, pagi itu adalah pagi yang indah dan cerah di kawasan ruko sektor 1.1 di BSD (Bumi Serpong Damai). Jam digital memperlihatkan angka 06.46. Sudah cukup terang untuk memulai aktivitas masing-masing. Sejumlah warga dengan pakaian yang seragam, yaitu polo shirt berwarna oranye disertai celana training berwarna putih baru saja menyelesaikan rutinitas mereka: Taichi. Berbagai macam kendaraan baik umum maupun pribadi sudah berlalu lalang di jalan besar dekat ruko itu.
Hiruk pikuk kegiatan pagi di kawasan ruko sektor 1.1 di BSD ini selalu ditemani dengan suara seretan puluhan lidi yang diikat menjadi satu di bawah sebuah gagang yang terbuat dari kayu. Sapu lidi ini menyeret berbagai macam benda-benda yang tergeletak tanpa dosa di jalan bata tersebut. “Sreett...sreett...srett...” Suara itu terus terdengar berkali-kali. Kadang-kadang berhenti sejenak, tak berapa lama kemudian mulai terdengar kembali. Gagang sapu yang terbuat dari kayu itu diayunkan dengan ahlinya oleh sepasang tangan dengan jari-jarinya yang kurus dan sudah berkeriput itu.
Bibirnya memasang seulas senyum yang tulus ketika saya mengajaknya untuk mengobrol sebentar. Sarmi, begitu dia biasa dipanggil. Tubuhnya mungil dan punggungnya sudah agak bungkuk. Ibu ini begitu kurus dengan kulit sawo matang. Sembari beristirahat sejenak dari pekerjaannya sebagai kuli nyapu, kami berbincang-bincang.
“Saya mah udah lama kerja jadi kuli nyapu begini. Dari laki (suami) saya nggak ada, saya udah jadi kuli nyapu. Kalau udah berapa taunnya sih, ya udah lama,” ujar Sarmi. Bisa dibilang, dia sudah sangat berpengalaman menjadi seorang kuli nyapu di kawasan ini. Setiap hari dia menyapu dari depan warnet “Vertigo” sampai ke selokan yang terletak di seberang Pasar Modern. Ternyata menjadi kuli nyapu begini dibayar per minggu. Dan per minggunya Sarmi dibayar 60 – 70.. rupiah. Dengan mata terbelalak, saya berkali-kali memastikan tentang upah mingguannya itu. Sarmi, masih dengan senyum menghiasi wajahnya juga berkali-kali mengiyakan pertanyaan saya.
Sarmi, wanita beranak lima yang berusia sekitar 70 tahun ini ternyata sudah sangat lama tinggal di BSD. Dia tinggal di daerah Lekong sejak orangtuanya masih ada sampai sekarang. Dialah salah satu saksi mata perkembangan BSD yang begitu pesat. Yang dulunya di BSD hanya terdiri dari sawah, rawa-rawa, dan hutan karet, menjadi sebuah kota kecil yang berfasilitas lengkap dan banyak penghuninya. Almarhum suaminya sudah sangat lama meninggal. Saat ini, Sarmi tinggal bersama anak-anak dan cucu-cucunya yang masih kecil-kecil. Biasanya, dia membersihkan sampah-sampah di kawasan ruko sektor 1.1 ini sampai Lohor (nama waktu berdasarkan waktu ibadah, yaitu pukul 12 siang), lalu dia akan pergi ke masjid untuk salat dan ngobrol dengan kenalan-kenalannya. “Saya mah kalau di rumah nggak betah,” katanya.
Karena dia sudah tinggal di BSD sejak kecil sampai sekarang, dia mengalami berbagai macam pengalaman yang sekarang hanya tinggal kenangan dan hanya sedikit orang yang tahu. Sarmi sempat bercerita bagaimana dulu daerah sektor 1.2 adalah kuburan dan bisa dibilang keramat, karena warganya dulu sekali sering melakukan ritual-ritual di sana. Hanya sedikit orang yang tahu tentang hal itu sekarang. Meskipun banyak berita-berita miring tanpa sumber yang jelas mengatakan bahwa daerah di sana memang sering terjadi “penampakan”, tetapi masih banyak warga yang tinggal di sana.
Selain menyapu-nyapu sampah dan daun-daun kering di sektor 1.1, Sarmi juga mengumpulkan kardus-kardus dan botol-botol plastik untuk kemudian dijual dan menambah penghasilan. Meskipun anak-anaknya sudah berkeluarga dan memiliki kehidupan masing-masing, Sarmi bersikeras untuk bekerja untuk membantu menunjang perekonomian keluarganya. Warga dekitar juga sudah sangat familiar dengan sosok Sarmi yang dengan giatnya selalu mengerjakan pekerjaannya setiap pagi. Selama kami berbincang-bincang pun ada dua-tiga warga yang lewat dan menyapa Sarmi. Ada juga seorang ibu-ibu berambut cepak memakai kaos polo putih yang ditutupi jaket yang memberikan sebuah roti untuk Sarmi lalu melanjutkan perjalanannya lagi.
Sebagaimana pekerjaan-pekerjaan besar yang membutuhkan keahlian memiliki tantangan dan resikonya masing-masing, menjadi kuli nyapu juga memiliki kesulitannya sendiri. Enggan menceritakan kesulitan-kesulitan yang pernah dialaminya, Sarmi menyeka matanya yang agak berair itu dengan bajunya. Dia hanya mengatakan, dulu andai suaminya masih ada di dunia, mungkin dia tidak perlu menjadi kuli nyapu. Mungkin dia bisa membuka toko sendiri bersama suaminya.
Namun, senyumnya kembali merekah dan diikuti tawa kecil ketika ditanyakan tentang bagian yang menyenangkan dari pekerjaannya. Dia mengaku, berkat pekerjaannya ini dia menjadi mendapat banyak pengalaman, dan banyak bertemu orang-orang baru. Katanya, sering ada warga yang memberikan makanan atau sembako untuk Sarmi. Tidak tahu bagaimana membalas kebaikan warga itu, Sarmi hanya bisa berterima kasih dan mendoakan.
Pekerjaan sebagai kuli nyapu ini bisa dia pertahankan sampai puluhan tahun, karena dia memikirkan anak dan cucunya. Demi kehidupan anak dan cucunya yang lebih baik, Sarmi bersedia untuk terus bekerja walaupun upah yang diterima tidak sebanding dengan usaha yang telah dikeluarkannya. Untungnya, anak-anaknya sudah bekerja, sehingga beban ekonomi jadi ditanggung bersama dan hanya tinggal menghidupi cucunya, dan berusaha memberikan kehidupan yang lebih baik bagi cucu-cucunya. Setelah kami bersalaman dan berpisah, suara seretan lidi-lidi itu kembali terdengar. “Sreett...sreett...srett...”
Sarmi tengah menyapu sampah-sampah di kawasan ruko sektor 1.1 BSD