“Saya benci Amerika!” ujar Daryono (39),
seorang sopir taksi yang saya tumpangi dalam perjalanan pergi ke Monumen
Nasional, atau lebih terkenal dengan sebutan Monas.
Sekitar pukul delapan kurang lima belas
menit, dari Stasiun Rawa Buntu saya naik kereta kelas ekonomi menuju Stasiun
Tanah Abang. Pagi itu, udara masih sangat sejuk. Kendaraan umum maupun pribadi
sudah berlalu lalang di jalanan. Termasuk mobil saya. Setelah memarkirkan mobil
di daerah parkiran, saya beserta dua orang teman saya yang saat itu hendak
pergi ke kampus meggunakan kereta.
Selama di dalam kereta, kami sama sekali
tidak duduk. Pada jam-jam masuk kerja seperti itu, wajar saja jika kondisi di
dalam kereta sangat ramai. Apalagi di dalam kereta kelas ekonomi. Penjual dan
pengamen bebas berlalu lalang di dalam kereta. Yang dijual pun macam-macam,
mulai dari koran, tisu, tahu goreng, sampai ada yang menjual jasa menyapu
kereta. “Kaos kaki.. kaos kaki...” “tisu.. tisu.. dua ribu tiga.. dua ribu
tiga...” Di tengah-tengah suasana yang sumpek dan panas itu, tidak sedikit yang
menggunakan tangan atau kertas atau alat apapun yang dapat dijadikan kipas untuk
sekedar mengipas-ngipas diri. Kami hanya difasilitasi dengan beberapa buah
kipas angin yang terletak di langit-langit kereta yang tidak terlalu membantu,
karena dalam kondisi berdesak-desakan seperti itu sekedar kipasan kecil dari
atas tidak akan terasa. Selain itu, tidak sedikit penumpang yang sibuk dengan
urusannya masing-masing. Ada yang asik mengobrol, tidur, ataupun membaca koran.
Perjalanan dari Stasiun Rawa Buntu
sampai ke Stasiun Tanah Abang kurang lebih memakan waktu 30-45 menit. Selama
itu pula kami berdiri menunggu sampai ke tujuan. Setelah melewati stasiun
Sudimara, Jurang Mangu, dan Pondok Raji, sampai pada Stasiun Kebayoran,
penumpang sudah mulai berkurang banyak. Angin dari jendela dan pintu kereta
sudah lebih bebas keluar masuk. Kami pun menikmati angin pagi yang saat itu
masih berhembus dengan sejuknya dengan berdiri agak dekat ke pintu kereta.
Kurang lebih lima menit kemudian kami sampai di Stasiun Palmerah, yang berarti
tidak lama lagi kami akan sampai ke Stasiun Tanah Abang.
Sesampainya di Stasiun Tanah Abang, kami
menunggu sebentar sampai semua penumpang keluar dari kereta. Pagi itu memang
benar-benar ramai, karena meskipun kami sudah menunggu beberapa menit untuk
kemudian keluar dari kereta, masih banyak sekali orang-orang yang berlalu
lalang di kereta sehingga membuat kami terpisah dan sulit mencapai jalan keluar.
Namun, setelah beberapa menit, kami akhirnya bertemu kembali tepat di tangga
keluar stasiun. Lalu kami berjalan kaki selama sekitar lima menit. Lalu saya
dan kedua teman saya berpisah, saya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan
taksi, sementara kedua teman saya menyambung menggunakan angkutan umum berwarna
biru muda.
Namanya Daryono. Sudah kurang lebih satu
tahun bekerja sebagai supir taksi Blue Bird. Karena biasanya mengantar
penumpang dari bandara, dia tidak begitu tahu ketika ditanyakan seputar kondisi
jalanan Jakarta ketika Hari Buruh tanggal 1 Mei 2013 kemarin. Namun, Daryono
begitu semangat ketika dimintai opini mengenai Hari Buruh yang setiap setahun
sekali diperingati. “Buruh itu sebenarnya tidak anarkis. Pemerintah seharusnya
lebih memikirkan buruh,” katanya. Apakah sebenarnya Hari Buruh itu?
Untuk yang belum tahu, Hari Buruh, pada
umumnya diperingati setiap tanggal 1 Mei dan dikenal dengan istilah May Day. Hari Buruh ini adalah sebuah
hari libur (di beberapa negara) tahunan yang berawal dari usaha gerakan serikat
buruh untuk merayakan keberhasilan ekonomi dan sosial para buruh. (sumber:
Wikipedia)
May Day lahir dari
berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis
hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme industri di
awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di
negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pengetatan
disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi
kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja.
Satu Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada Konggres
1886 oleh Federation of Organized Trades
and Labor Unions untuk, selain memberikan momen tuntutan delapan jam
sehari, memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik
masif di era tersebut. Tanggal 1 Mei dipilih karena pada 1884 Federation of Organized Trades and Labor Unions, yang
terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872, menuntut delapan jam kerja di Amerika Serikat dan
diberlakukan mulai 1 Mei 1886. (Sumber:
Wikipedia)
Daryono sangat bersemangat berbicara
tentang Indonesia. Dengan menggebu-gebu berkali-kali dia mengatakan bahwa
Indonesia ini adalah negara yang kaya, dan kalau Indonesia punya tekad untuk
maju, pasti bisa maju. Menurutnya hanya Soekarno dan Suharto-lah Presiden
Indonesia yang paling becus menjalankan pemerintahan. Dengan nada kecewa dia
mengatakan bahwa setelah zaman Suharto, belum ada presiden yang mampu
menggantikan mereka berdua. Sambil terus mengemudikan mobil taksi dengan
terampil, Daryono menambahkan bahwa saat ini Indonesia terlalu terpengaruh pada
budaya asing, khususnya Amerika. “Saya benci Amerika!” ujarnya. Bahkan, dengan
bangga dia mengatakan bahwa ayahnya adalah anggota PKI dan dia pun adalah salah
satu pendukung PKI. Namun, dia menolak untuk masuk ke dunia politik.
Menurutnya, lingkaran politik adalah lingkaran setan yang membutakan.
Tidak terasa sekitar 15 menit kami telah
berbincang-bincang dan saya sampai di depan pintu masuk Monumen Nasional. Saya
memberikan tiga lembar uang sepuluh ribuan kepada Daryono dan melanjutkan
perjalanan saya untuk sampai ke dalam Monas. Dari pintu masuk sampa ke depan
Monas ternyata tidak sedekat yang saya duga. Jam di handphone saya sudah menunjukkan angka sembilan. Cuacanya pun tidak
sesejuk tadi. Sekarang, banyak pedagang-pedagang minuman dan makanan kecil di
sekitar jalanan menuju Monas berteduh di bawah pohon terdekat. Di tengah jalan,
saya berpapasan dengan rombongan anak-anak dari SMP Tunas Harapan Nusantara
yang ternyata sedang study tour ke
Monas. Kami berjalan bersama menuju Monas. Sekitar 10 menit kemudian, tubuh
Monas yang panjang dan kokoh mulai terlihat. Semakin lama semakin jelas
terlihat, dan akhirnya kami sampai di depan Monas. Angin di sekitar berhembus
sangat kencang, tapi tidak menggoyakan posisi Monas sedikitpun. Di sekitarnya,
terdapat berbagai macam tumbuhan yang terlihat sangat terawat menghiasi pintu
gerbang Monas.
Namun, setelah
melihat sekeliling, saya tidak kunjung menemukan loket karcis untuk masuk ke
dalam Monas. Jadilah saya berjalan lagi mengitar Monas untuk sekalian mencari
pintu masuk. Beberapa menit kemudian, akhirnya didapati bahwa untuk masuk ke
dalam Monas, kita harus masuk dari bawah tanah. Okey, perjalanan berlanjut dan saya masuk dari bawah tanah. Setelah
melewati lorong yang sangat panjang, akhirnya ketemu-lah loket karcis masuknya.
Biaya tiket masuk untuk anak-anak sebesar Rp 2.000,-, untuk mahasiswa Rp 3000,-
dan dewasa Rp 5.000,-. Saya hanya perlu membayar tiga ribu rupiah untuk dapat
masuk ke dalam Monas dan hanya menambah lima ribu rupiah lagi untuk naik sampai
ke puncak Monas.
Monas adalah
monumen peringatan setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan untuk mengenang
perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia
untuk merebut kemerdekaan dari
pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Pembangunan monumen ini dimulai pada tanggal 17 Agustus
1961
di bawah perintah presiden Sukarno, dan dibuka
untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975.
Tugu ini dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emas
yang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala. Monumen Nasional
terletak tepat di tengah Lapangan Medan Merdeka,
Jakarta Pusat. Monumen dan
museum ini dibuka setiap hari mulai pukul 08.00 - 15.00 WIB. Pada hari Senin
pekan terakhir setiap bulannya ditutup untuk umum. (Sumber: Wikipedia)
Pada halaman
luar mengelilingi monumen, pada tiap sudutnya terdapat relief timbul yang
menggambarkan sejarah Indonesia.
Relief ini bermula di sudut timur laut dengan mengabadikan kejayaan Nusantara
pada masa lampau; menampilkan sejarah Singhasari dan Majapahit. Relief ini
berlanjut secara kronologis searah jarum jam menuju sudut tenggara, barat daya,
dan barat laut. Secara kronologis menggambarkan masa penjajahan Belanda, perlawanan
rakyat Indonesia dan pahlawan-pahlawan nasional Indonesia, terbentuknya
organisasi modern yang memperjuangkan Indonesia Merdeka pada awal abad ke-20, Sumpah Pemuda,
Pendudukan Jepang dan Perang Dunia II, proklamasi kemerdekaan Indonesia disusul
Revolusi dan Perang kemerdekaan Republik Indonesia, hingga mencapai masa
pembangunan Indonesia modern. Relief dan patung-patung ini dibuat dari semen
dengan kerangka pipa atau logam, sayang sekali beberapa patung dan arca mulai
rontok dan rusak akibat hujan dan cuaca tropis. (Sumber: Wikipedia)
Setelah
membayar tiket masuk, saya memutuskan untuk berjalan-jalan ke puncak Monas
dulu, karena menurut Pujo, security
yang berjaga di dalam Monas, Ruang Kemerdekaan hanya dibuka setiap satu jam
sekali. Saat itu waktu baru menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Saya pun
mengantre lift untuk sampai ke puncak yang ada di lantai tiga. Lift hanya
berkapasitas 11-12 orang, dan di dalam ada seorang penjaga lift yang duduk di
depan tombol lift sambil mendengarkan radio dari handphone-nya menggunakan headset.
Sampai
di puncak, angin berhembus lebih kencang lagi. Saya sampai harus mengikat
rambut saya saking kencangnya angin di sana saat itu. Berada di puncak Monas
terasa luar biasa. Tempatnya tidak terlalu luas, hanya sekitar 10 x 10 meter. Banyak
turis yang turut kagum dengan pemandangan dari puncak Monas yang luar biasa
itu. Seorang turis Jepang berbicara dengan temannya, “sugoi ne..” yang artinya
“luar biasa ya...” Saya sebagai warga negara Indonesia, bangga mendengar ucapan
tersebut dari orang asing. Karena, Monas berarti tidak kalah dari Tokyo Tower
maupun Eiffel Tower. Di puncak, disediakan teropong untuk melihat-lihat
pemandangan Jakarta lebih dekat lagi.
Terakhir, saya mengunjungi Ruang
Kemerdekaan yang tepat dibuka pukul 10 pagi. Saat masuk ke dalam ruangannya,
lagu Bagimu Negri berkumandang di dalam ruangan.
Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami
Berakhirnya
lagu Bagimu Negri langsung disertai suara presiden pertama Indonesia, Ir.
Soekarno yang membacakan naskah Proklamasi.
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan
Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta,
hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas
nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
Perjalanan ini cukup menguras
tenaga. Tetapi pengalaman ini adalah pengalaman pertama saya mengunjungi
Monumen Nasional sendiri. Saya mendapati bahwa tiang api berlapis emas yang
terdapat di puncak Monas merupakan “Api Nan Tak Kunjung Padam” yang artinya
adalah agar bangsa Indonesia selalu memiliki semangat yang menyala-nyala dalam
berjuang dan semangat itu tidak akan mati sepanjang masa.
(Credit
all photos: Wenny Lovenza Anastacia)